Nama:
KH Ahmad Dahlan
Nama Kecil:
Muhammad Darwisy
Lahir:
Yogyakarta, 1 Agustus 1868
Meninggal:
Yogyakarta, 23 Februari 1923
Agama:
Islam
Isteri:
- Siti Walidah (Nyai Ahmad Dahlan, seorang
Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah, dikaruniai enam orang anak yaitu
Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti
Zaharah).
- Nyai Abdullah, janda H. Abdullah
- Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak
- Ibu Nyai Aisyah (dikarunia satu anak)
- Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta
Ayah:
KH Abu Bakar
Ibu:
Nyai Abu Bakar (puteri dari H. Ibrahim)
Saudara:
Tujuh bersaudara
Pendidikan:
- Pesantren, Yaogyakarta, agama dan bahasa Arab,
sampai 1883
- Menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Makkah,
1883-1888, dari pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh,
al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibn Taimiyah
- Memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di
Makkah, 1902-1904
Karir:
- Khatib Amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta
- Khatib Masjid Besar Yogyakarta
- Guru Agama Islam di OSVIA Magelang dan Kweekschool
Jetis Yogyakarta.
- Pendiri sekolah guru Madrasah Mu'allimin
(Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu'allimat (Kweekschool Istri Muhammadiyah)
Organisasi:
- Pendiri Persyarikatan Muhammadiyah
- Aktif di Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat
Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad saw.
Penghargaan:
Pahlawan Nasional (Surat Keputusan Presiden no. 657
tahun 1961).
Ahmad Dahlan (bernama kecil Muhammad Darwisy),
adalah pelopor dan bapak pembaharuan Islam. Kyai Haji kelahiran Yogyakarta, 1
Agustus 1868, inilah yang mendirikan organisasi Muhammadiyah pada 18 November
1912. Pahlawan Nasional Indonesia ini wafat pada usia 54 tahun di Yogyakarta,
23 Februari 1923.
KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah
untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di nusantara. Ia ingin
mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan
agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup
menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Ia mendirikan Muhammadiyah bukan
sebagai organisasi politik tetapi sebagai organisasi sosial kemasyarakatan dan
keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan.
Pada saat Ahmad Dahlan melontarkan gagasan pendirian
Muhammadiyah, ia mendapat tantangan bahkan fitnahan, tuduhan dan hasutan baik
dari keluarga dekat maupun dari masyarakat sekitarnya. Ia dituduh hendak
mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai
palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam
tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun
rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk
melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa
mengatasi semua rintangan tersebut. 1)
Atas jasa-jasa KH Ahmad Dahlan dalam membangkitkan
kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah
Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat
Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Penetapannya sebagai Pahlawan Nasional
didasarkan pada empat pokok penting yakni: Pertama, KH Ahmad Dahlan telah
mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa
terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
Kedua, dengan organisasi Muhammadiyah yang
didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya.
Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan
ummat, dengan dasar iman dan Islam. Ketiga, dengan organisasinya, Muhammadiyah
telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi
kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam. Keempat, dengan
organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori
kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan.
Diasuh di Lingkungan Pesantren
Muhammad Darwisy lahir dari keluarga ulama dan
pelopor penyebaran dan pengembangan Islam di tanah air. Ayahnya, KH Abu Bakar
adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan
Yogyakarta, dan ibunya, Nyai Abu Bakar adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga
menjabat penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu.
Ia anak keempat dari tujuh orang bersaudara, lima
saudaranya perempuan dan dua lelaki yakni ia sendiri dan adik bungsunya. Dalam
silsilah, ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim,
seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang
merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa
(Kutojo dan Safwan, 1991). 2)Idem
Silsilahnya lengkapnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad
Dahlan) bin KH Abu Bakar bin KH Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai
Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin
Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlul'llah
(Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim
(Yunus Salam, 1968: 6).
Sejak kecil Muhammad Darwisy diasuh dalam lingkungan
pesantren, yang membekalinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Pada usia 15
tahun (1883), ia sudah menunaikan ibadah haji, yang kemudian dilanjutkan dengan
menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Makkah selama lima tahun. Ia pun semakin
intens berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam,
seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah. Interaksi
dengan tokoh-tokoh Islam pembaharu itu sangat berpengaruh pada semangat, jiwa
dan pemikiran Darwisy.
Semangat, jiwa dan pemikiran itulah kemudian
diwujudkannya dengan menampilkan corak keagamaan yang sama melalui
Muhammadiyah. Bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di
sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot). Ahmad
Dahlan memandang sifat ortodoks itu akan menimbulkan kebekuan ajaran Islam,
serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Maka, ia memandang,
pemahaman keagamaan yang statis itu harus diubah dan diperbaharui, dengan
gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur'an
dan al-Hadits.
Setelah lima tahun belajar di Makkah, pada tahun
1888, saat berusia 20 tahun, Darwisy kembali ke kampungnya. Ia pun berganti
nama menjadi Ahmad Dahlan. Lalu, ia pun diangkat menjadi khatib amin di
lingkungan Kesultanan Yogyakarta.
Pada tahun 1902, ia menunaikan ibadah haji untuk
kedua kalinya, sekaligus dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada
beberapa guru di Makkah hingga tahun 1904.
Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti
Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil. Siti Walidah,
kemudian lebih dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan
Nasional dan pendiri Aisyiyah. Pasangan ini mendapat enam orang anak yaitu
Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah
(Kutojo dan Safwan, 1991).
Di samping itu, KH. Ahmad Dahlan pernah pula
menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum,
adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari
perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang
bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman
Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9).
Mendirikan Muhammadiyah
Semangat, jiwa dan pemikiran pembaharu dalam dunia
Islam, yang diperolehnya dari Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, ibn
Taimiyah dan lain-lain selama belajar Makkah (1883-1888 dan 1902-1904),
kemudian diwujudkannya dengan menampilkan corak keagamaan yang sama melalui
Muhammadiyah. Bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di
sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot).
Ahmad Dahlan memandang sifat ortodoks itu akan
menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi
(keterbelakangan) ummat Islam. Maka, ia memandang, pemahaman keagamaan yang statis
itu harus diubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian
ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur'an dan al-Hadits.
Dahlan sendiri sadar bahwa semaangat pembaharuannya
tidak akan serta-merta dapat dipahami dan diterima keluarga dan masyarakat
sekitarnya. Tidak mudah melakukan pemharuan pada suatu sifat ortodoks yang
sudah membeku. Maka, entah terkait atau tidak, ada sebuah nasehat yang
ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri.
Bunyinya demikian: "Wahai Dahlan, sungguh di
depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau,
yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan
selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba
engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah,
sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan
dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan
tinggalkanlah lainnya (diterjemahkan oleh Djarnawi Hadikusumo).
Dalam artikel riwayat Ahmad Dahlan di situs resmi
Parsyarikatan Muhammadiyah (muhammadiyah.or.id), pesan ini disebut menyiratkan
sebuah semangat yang besar tentang kehidupan akhirat. Dan untuk mencapai
kehidupan akhirat yang baik, maka Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus
mencari bekal untuk kehidupan akhirat itu dengan memperbanyak ibadah, amal
saleh, menyiarkan dan membela agama Allah, serta memimpin ummat ke jalan yang
benar dan membimbing mereka pada amal dan perjuangan menegakkan kalimah Allah.
Dengan demikian, untuk mencari bekal mencapai
kehidupan akhirat yang baik harus mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa
upaya-upaya tersebut harus diserukan (dakwah) kepada seluruh ummat manusia
melalui upaya-upaya yang sistematis dan kolektif.
Dijelaskan dalam artikel itu, kesadaran seperti
itulah yang menyebabkan Dahlan sangat merasakan kemunduran ummat Islam di tanah
air. Hal ini merisaukan hatinya. Ia merasa bertanggung jawab untuk
membangunkan, menggerakkan dan memajukan mereka. Dahlan sadar bahwa kewajiban
itu tidak mungkin dilaksanakan seorang diri, tetapi harus dilaksanakan oleh
beberapa orang yang diatur secara seksama. Kerjasama antara beberapa orang itu
tidak mungkin tanpa organisasi. Perkumpulan, parsyarikatan dan gerakan dakwah:
Muhammadiyah.
Dahlan pun memilih strategi yang amat baik dengan
lebih dahulu membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya
dakwah tersebut, sekaligus meneruskan cita-citanya memajukan bangsa ini.
Apalagi ia berkesempatan mengakselerasi dan memperluas gagasannya tentang
gerakan dakwah Muhammadiyah itu dengan mendidik para calon pamongpraja (calon
pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan para calon guru yang belajar di
Kweekschool Jetis Yogyakarta. Karena, ia sendiri diizinkan oleh pemerintah
kolonial untuk mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut.
Tentu saja para calon pamongpraja tersebut dapat
diharapkan mengaselerasi dan memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan
menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Begitu pula
para calon guru akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan
dakwah Muhammadiyah, kepada murid-muridnya. Guna mengintensifkannya, Dahlan pun
mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu'allimin
(Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu'allimat (Kweekschool Istri
Muhammadiyah). Di sekolah ini, Dahlan mengajarkan agama Islam dan menyebarkan
cita-cita pembaharuannya.
Dahlan dikenal sebagai seorang yang aktif dalam
kegiatan bermasyarakat. Dengan gagasan-gagasan cemerlang dan kegiatan
kemasyarakatannya, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah
kalangan masyarakat. Termasuk dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi
Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi
Muhammad saw.
Pada tahun 1912, tepatnya tanggal 18 Nopember 1912,
Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan
cita-cita pembaharuan Islam. Ia punya visi untu melakukan suatu pembaharuan
dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak
ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan
al-Hadits.
Berbagai tantangan ia hadapi sehubungan dengan
gagasan pendirian Muhammadiyah itu. Bahkan ia dituduh hendak mendirikan agama
baru yang menyalahi agama Islam. Kiai palsu. Sampai ada pula orang yang hendak
membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar.
Dahlan teguh pada pendiriannya. Pada tanggal 20
Desember 1912, ia mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk
mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan
Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Tampaknya,
Pemerintah Hindia Belanda ada kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini.
Sehingga izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini
hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta
Namun, walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di
daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah
berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan
pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan
menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta
memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan
nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah.
Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah
Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan
dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan
untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.
Perkumpulan-perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini mendapat bimbingan dari
Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya
Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub,
Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kan,u wal-Fajri, Wal-Ashri,
Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).
Gagasan pembaharuan Islam, Muhammadiyah
disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di
samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini
ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di
Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk
menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin
berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei
1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan
cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh
pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Dalam bulan Oktober 1922, Ahmad Dahlan memimpin
delegasi Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini
diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari aksi baru untuk
konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan
Al-Irsyad (perkumpulan golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan
Syeikh Ahmad Syurkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam
ortodoks dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran
yang telah mapan (tradisionalis-konservatif) dan dianggap membangun mazhab baru
di luar mazhab empat yang telah ada dan mapan.
Muhammadiyah juga dituduh hendak mengadakan tafsir
Qur'an baru, yang menurut kaum ortodoks-tradisional merupakan perbuatan
terlarang. Menanggapi serangan tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya dengan
perkataan, "Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari
keadaan terbekelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para
ulama dari pada Qur'an dan Hadits. Umat Islam harus kembali kepada Qur'an dan
Hadits. Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui
kitab-kitab tafsir".
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan
aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota
Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam
Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah,
telah diselenggarakan duabelas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun),
yang saat itu dipakai istilah Algemeene Vergadering (persidangan umum).
Di samping aktif dalam menggulirkan gagasannya
tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai
pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Sebagai salah seorang
keturunan bangsawan yang menduduki jabatan sebagai Khatib Masjid Besar
Yogyakarta, ia mempunyai penghasilan cukup tinggi. Ia juga berkecimpung sebagai
seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar